Wilayah Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat (Jabar), dinilai sudah saatnya menjadi kota otonom atau mandiri.
Penilaian tersebut, diantaranya dilatarbelakangi wilayah Kecamatan Jatinangor terdapat empat perguruan tinggi (PT). Masing-masing Universitas Padjdjaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung (ITB), Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), dan Institut Koperasi Indonesia (Ikopin), dengan jumlah mahasiswa lebih dari 50.000 orang.
Selain itu, wacana untuk menjadikan Kecamatan Jatinangor menjadi sebuah kota atau kota administratif, sudah lama didengungkan. Hal itu diakui salah seorang Anggota Senat Guru Besar Unpad Bandung, Prof. Dr. Wahyudin Zarkasyi. Wahyudin yang juga Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Jabar ini mengatakan, sudah saatnya pelayanan pemerinah terhadap kawasan Jatinangor ditingkatkan.
"Namun untuk meningkatkan pelayanan pemerintah ini, kawasan Jatinangor harus menjadi sebuah kota mandiri. Terlebih dengan adanya empat perguruan tinggi besar di sana, yakni Unpad, STPDN, ITB, dan Ikopin dengan jumlah mahasiswa lebih dari 50 ribu orang," ungkap Wahyudin saat ditemui media ini di kantor Disdik Jabar, Jalan Dr. Rajiman Bandung, belum lama ini.
Ia mengatakan, empat PT dengan jumlah mahasiswa sebanyak itu, harus mendapat pelayanan prima dari sebuah pemerintahan kota. Namun pada kenyataannya, selama ini empat PT dengan 50 ribu mahasiswanya itu hanya dilayani pemerintahan tingkat kecamatan.
"Jelas ini sangat timpang sekali. Masa empat PT yang telah memberikan kontribusi kepada masyarakat setempat di bidang ekonomi, kawasannya tidak dibenahi pemerintah daerah," tegasnya.
Menurut Wahyudin, dengan adanya 50 ribu mahasiswa di sana sangat potensial untuk mengundang para investor menanamkan investasinya. Saat ini, tanpa diundang pun investor sudah datang dengan membangun berbagai fasilitas, khususnya tempat kos-kosan.
Ia mengakui, sebenarnya pemerintah sudah lama merancang kawasan Jatinangor untuk dijadikan sebagai kota mandiri (kota pendidikan). Hal ini dibuktikan sejumlah perguruan tinggi, didorong untuk dipindahkan ke Jatinangor. Namun kenyataannya pemerintah belum siap, sehingga kondisi kawasan Jatinangor apa adanya seperti sekarang.
Wahyudin beranggapan, sebaiknya kawasan Jatinangor dikelola secara otonomi atau terpisah dari Pemkab Sumedang, agar pelayanannya lebih terfokus. Pasalnya, pelayanan pemerintahan kepada masyarakat setempat dan perguruan tinggi yang ada, terasa kurang maksimal.
"Masa’ di kawasan Jatinangor tidak ada pelayanan publik yang maksimal. Seperti tidak adanya petugas pamong praja, pemadam kebakaran, layanan rumah sakit dan sebagainya. Selama ini, pelayanan itu hanya diberikan oleh pemerintah kecamatan," paparnya.
Tergantung Masyarakat
Secara administrasi, Jatinangor yang memiliki luas wilayah 5.000 ha di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Suksari dan Kecamatan Tanjungsari, sebelah timur dengan Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan Cimanggung, sebelah selatan dengan Kecamatan Rancaekek (Kabupaten Bandung), serta sebelah barat dengan Kecamatan Cileunyi (Kabupaten Bandung).
Menurut Wahyudin, pemekaran wilayah Jatinangor menjadi Kota Jatinangor atau kota mandiri, sangat tergantung keinginan masyarakat setempat, yang mendapat persetujuan dari dewan maupun Pemkab Sumedang. Sedangkan PT tidak bisa meminta pemekaran wilayah segera dilakukan, namun berkewajiban mendukung dengan memberikan kontribusi pembangunan di wilayah sekitar.
"Memang selama ini dari tiga perguruan tinggi yang ada di Jatinangor, sejak dulu belum terlihat ada kontribusi dalam pembangunan fasilitas dan sebagainya di wilayah Jatinangor. PT-PT itu lebih fokus membangun berbagai fasilitas di dalam kampus, tidak ke masyarakat," tuturnya.
Wahyudin pun mengatakan, belum melihat adanya hasil penelitian dari mahasiswa maupun dosen untuk pembangunan wilayah Jatinangor maupun untuk pemekaran wilayah. "Ini yang harus segera dilakukan oleh empat PT tersebut, agar pembangunan wilayah Jatinangor lebih terarah," tambahnya.
Kurang Pelayanan
Sementara itu, Dosen Hukum Tata Ruang Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan menyebutkan, sejak awal kawasan Jatinangor memang akan dijadikan kota pendidikan. Namun yang lebih penting, bagaimana pelayanan pemerintah terhadap masyarakat maupun lingkungan kampus. "Selama ini, masyarakat dan mahasiswa kurang mendapatkan pelayanan dari pemerintah," tegasnya.
Karena itu Asep Warlan berpendapat, jangan dulu menjadi sebuah kota otonom atau administratif, tapi lebik baik pelayanan pemerintahnya yang ditingkatkan dan bersifat otonom. Karena untuk menjadi sebuah kota otonom, Jatinangor harus mendapat dukungan dari Kota Bandung, Kab. Bandung, maupun dari Kab. Sumedang.
"Namun walaupun belum ada dukungan dari tiga daerah itu, kawasan Jatinangor tumbuh dengan pesat. Terutama setelah berbagai perguruan tinggi berdiri di sana," ujarnya.
Asep menyebutkan, pertumbuhan ekonomi masyarakat menengah berlangsung dengan pesat. Kondisi itulah yang terjadi. Namun kurang mendapat perhatian pemerintah setempat.
"Kita bisa saksikan di kawasan Jatinangor pelayanan kesehatan terbatas, begitu pun dengan layanan keamanan. Tidak ada satpol PP, pemadam kebakaran, serta layanan lainnya, dan kemacetan sering terjadi," tuturnya.
Jika diperh
atikan kata dia, semua layanan ini kalah oleh layanan di kampus-kampus yang ada di kawasan Jatinangor, terutama masalah fasilitas. "Fasilitas dan layanan umum di kampus jauh lebih baik, daripada fasiltas dan layanan di kawasan Jatinangor yang selama ini dipegang oleh kecamatan," tegasnya. (**)
Sumber:
klik-galamedia.com, dalam :
http://www.publiknasional.com/index.php?option=com_content&view=article&id=526:jatinangor-layak-jadi-kota-otonom&catid=51:nusantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar