SEJAK dulu, Jatinangor, daerah di antara Tanjungsari Kabupaten Sumedang dan Cileunyi, Kabupaten Bandung, dipenuhi kebun bambu. Hingga sekitar 1950-an, tempatyang sekarang merupakan tempat berdirinya sejumlah perguruan tinggi besar adalah lahan kebun karet.Jejak-jejaknva masih bisa kita temukan pada para pembawa bambu yang hingga hari ini, mengang-kutnya ke Kota Bandung pada tengah malam. Juga, Jembatan Cincin yang didirikan sebagai bekas jalur rel kereta api sejak 1921 serta bekas Menara Lonceng (Loji).
Jatinangor sekarang biasa disebut kawasan pendidikan tinggi dengan empat sekolah tinggi besar, Universitas Padjadjaran, Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Institut Koperasi Indonesia, dan Universitas VVinaya Mukti. Ribuan mahasiswa kos di kawasan perkampungan dalam radius 5 km.Ribuan mahasiswa baru dari seluruh Indonesia juga luar negeri menjadi penghuni baru setiap tahun ajaran baru. Suatu konsentrasi potensi mahasiswa yang luar biasa. Berdasarkan survei beberapa tahun lalu, tercatat 20 organisasi mahasiswa aktif di kawasan Jatinangor. Jumlah ini tidak termasuk himpunan jurusan dalam kampus, sekitar 18 organisasi seni dan budaya, 10 kesukuan, 6 warga lokal serta sosial, budaya dan politik. Masih mungkin ada kelompok lain yang belum sempat terdata.
Jalan Raya Rancaekek yang merupakan jalur utama Bandung menuju kawasan selatan Pulau Jawa. Terdapat beberapa pabrik tekstil besar dengan masyarakat utamanya kaum pedagang dan para buruh pabrik. Di luar ini, tentunya masih ada banyak fakta dan data yang belum terkum-pulkan. Semua ini berada hanya dalam radius kira-kira 5-6 km dari Jatinangor.Tampak nyata Jatinangor adalah kawasan dengan masyarakat dinamis, terus berkembang pesat. Seharusnya, mendapatkan penanganan secara spesial karena sifat-sifat khususnya tersebut.
Seandainya saya camat Jatinangor, masalah utama di Jatinangor yang dengan mudah dapat diamati siapa saja dan harus sesegera mungkin diwujudkan adalah pengelolaan sampah dan trotoar.Jatinangor sebagai kawasan pendidikan seharusnya bukan cuma slogan, tetapi bersifat luar dalam. Bukan wujud fisik bangunan kampus dengan berbagai kegiatan perkuliahan.Saya amati, belum begitu tampak fungsi perguruan tinggi di kota ini, yang konon sebagai agen perubahan. Kecuali, barangkali manfaat ekonomis bagi masyarakat setempat.semisal kos-kosan, perniagaan, serta ekses sosial.
Perpustakaan Komunitas Batoe Api, misalnya, merupakan salah satu cara yang saya idamkan menyebar, tidak hanya di dalam kampus di Jatinangor, tapi juga meracuni alam pikiran masyarakat sekitar. Proses tersebut diharapkan memunculkan kepekaan, sikap egaliter, membuka diri, berwawasan dan tidak fanatik.Kepekaan misalnya, akan muncul dengan rasa ingin tahu yang kuat yang berimbuh pada kesadaran untuk tumbuhnya minat baca, mengapresiasi, kesadaran akan lingkungan sehat sampai perilaku tertib berlalu lintas.
Kita juga mulai mengidamkan pohon peneduh jalan yang rindang, tidak buang sampah sembarangan dengan banyaknya tong sampah. Masyarakat pun makin melek media, ruang publik pun bertambah, sehingga orang mudah mengakses informasi di mana pun. Semua itu tidak perlu lagi dalam keadaan terpaksa, tetapi secara sukarela.Suatu saat nanti, apa yang terbentuk dalam kota Jatinangor yang kecil ini, bisa jadi contoh dan menyebarkan virusnya ke seluruh Indonesia. Jika masyarakat sudah apresiatif, seluruh proses penyadaran tersebut dengan sendirinya tidak perlu dipaksakan. Menjadi pijakan untuk masyarakat yang beradab dan peka. Indah bukan? (M-5)
Sumber :
Ahmad Syarief
Media Indonesia, dalam :
http://bataviase.co.id/detailberita-10397941.html
13 Desember 2009
hati-hti
BalasHapus