.

Sabtu, 17 Juli 2010

Mengenang "Surganya Jawa"

Kesan sebuah desa, dusun, atau kampung yang-sebagaimana fenomena masa kini-ingin "di-kota-kan" sedianya tidak bisa dilepaskan dari citra silamnya. Kesilaman itu sejatinya menjadi memori dan identitas bagi manusia yang menghuninya sekarang.

Namun, bagaimana jadinya jika citra silam itu kian meredup lalu hilang ditelan berbagai pembangunan, didorong kebutuhan (atau nafsu?) ingin menjadi kota? Hawa itu bisa dirasakan di Jatinangor.
Sebagai bagian dari wilayah Sumedang, Jatinangor lebih dikenal sebagai kawasan pendidikan tinggi.
Statusnya sebagai kawasan pendidikan itu pula yang secara langsung memberi rembesan bagi siapa saja yang ingin mencari peruntungan ekonomi. Di Jatinangor bangun-membangun rumah kos, ruko, hingga kios-kios pinggir jalan, mal, bahkan jika tidak ada aral melintang, akan dibangun apartemen, semua didapati di sini. Wajah-wajah pembangunan itu berjejal di antara persawahan yang masih bertahan dan sudah dipatoki papan bertuliskan: dijual!

Barangkali banyak orang awam yang belum dan akan datang bahkan bermukim lama di Jatinangor bertanya-tanya soal perkembangan status wilayah ini. Apa lebih tepatnya menyebut status Jatinangor? Tidak tepat untuk menyebutnya-menjadi-kota jika hanya menimbang pembangunan semacam sarana perbelanjaan modern yang sudah beberapa tahun belakangan seakan menjadi kebanggaan masyarakat pribumi.

Kota, dalam peradaban manusia, adalah puncak-puncak kebudayaan, yang mana manusia penghuninya (baca: utamanya pribumi) sadar memajukan wilayahnya sendiri. Adapun gegap gempita pembangunan di Jatinangor lebih diusahakan orang-orang luar yang mencari peruntungan ekonomi.

Maka, melihat wajah kekinian Jatinangor sungguh mengubur citra silamnya sebagai desa dengan perkebunan, persawahan, dan gunung yang-semestinya-asri dipandang. Ditambah memori silamnya yang terekam melalui menara loji dan jembatan eks jalur kereta api sebagai ikonnya.

Saksi bisu

Kedua situs kolonial itu kini hanya jadi saksi bisu yang sedianya merekam kisah Baron Baud, pengusaha perkebunan Cultuur Ondernemingen van Maatschappij Baud di kawasan Jatinangor pada akhir paruh pertama abad ke-19. Di Priangan sosok Baron Baud tidaklah seterkenal KF Holle yang dikenal mengakrabi lingkungan budaya pribumi meski keduanya hidup sezaman.

Selain sebagai pengusaha perkebunan, Baud bolehlah dikenal sebagai pencinta flora. Nama putrinya saja bahkan diambil dari sebuah nama flora merambat, sensitif jika tersentuh, dan hanya tumbuh di iklim tropis Asia Tenggara dan Amerika: mimosa (lebih dikenal dengan sebutan "putri malu"). Bahkan, nama Jatinangor sendiri, sebagaimana disinggung dalam sebuah tulisan T Bachtiar, adalah genus flora dari benua Amerika yang kemudian diberi nama lokal: Jatinangor. Seperti dibayangkan Bachtiar, tumbuhan berwarna merah itu konon pada masa hidupnya Baud pernah begitu asri mewarnai kawasan perkebunan teh miliknya.

Imajinasi Bachtiar tidak ada salahnya jika membaca kembali kondisi silam Jatinangor sebagai daerah perkebunan yang menyatu dengan bagian dalam atribut silam Sumedang sebagai "surga dari tanah Jawa". Julukan ini begitu mengemuka seiring pengukuhan Sumedang sebagai "Puseur Budaya Sunda." Julukan yang tampaknya begitu ngabubungah elemen masyarakatnya.

Tentu saja sebutan cantik itu tidak dicipta seketika, tetapi diambil dari sebuah buku fotografi cetakan awal abad ke-20 bertajuk Het Paradijs van Java susunan Wijnand Kerkhoff. Di bawah tajuk utama ada transliterasi ke dalam berbagai bahasa: "Sorga dari Djawa", "Das Paradis von Java", "The Paradise of Java", "Le Paradis de Java", "El Paraiso de Java", dan "Il Paradiso di Giava". Setiap foto memiliki caption bernarasi bahasa Belanda dan Melayu.

Dalam sebuah bagiannya, ada sebuah foto kereta api melintas di Jembatan "Tjikoeda" Jatinango-yang saat itu masih menghubungkan jalur Tanjungsari ke Rancaekek-dengan latar pegunungan dan hamparan persawahan. Jika dibandingkan dengan kondisi sekarang, tentu saja pemandangan tempo doeloe nan cantik ke arah jembatan cincin-begitu sebutannya sekarang-itu belum terkotori selipan warna-warni bangunan kos-kosan. Sungguh waas membayangkan pemandangan pada masa itu.

Pantas saja Johan Koning yang memberikan kata pengantar buku fotografi Kerkhoff itu menyebut Sumedang, termasuk di dalamnya Jatinangor, sebagai "Italy of the East". Tapi, jauh sebelum itu ternyata sebutan cantik itu sudah didapati dalam sebuah catatan perjalanan seorang Inggris bernama Charles Walter Kinloch pada 1852. Dalam buku itinerario-nya di Pulau Jawa bertajuk Rambles in Java and the Straits in 1852, pada 1 Juli 1852 Kinloch mencatat turnoinya dari Bandung ke Sumedang.

Betapa ia terpana dengan keelokan alam Sumedang yang mengingatkannya pada kalimat sebuah puisi bertajuk Naples (sebuah kota di Italia). Salah satu bait puisi berbahasa Italia itu dikutipnya untuk mengiaskan keelokan Sumedang sebagai un pezzo di cicelo caduto in terra (hal 71); ya, "sepotong surga yang jatuh ke bumi". Hingga awal abad ke-20 citra "surga yang jatuh ke bumi Sumedang" itu masih bertahan, terbukti dari julukan yang disematkan Koning. Proyek kolonialisme?

Jelas, pada masa awal abad ke-20, penggambaran eksotika alam ini sebentuk proyek kolonialisme yang terbilang serius, salah satunya untuk kepentingan sektor turisme di tanah jajahannya, sebagaimana kolonialisme membangun citra Bandung sebagai Parijs van Java atau Garut sebagai Swiss van Java.

Boleh jadi kini, daerah lain yang tidak memiliki julukan sejenis merasa cemburu dengan sebutan cantik semacam itu yang tidak dimilikinya. Jikalah benar ada kecemburuan begini, hendaknya ditelaah kembali siapa penyemat atribut itu. Bukan orang pribumi yang menjulukinya, melainkan "berterimakasihlah" kepada orang-orang Eropa seperti Baud yang hidup pada masa kolonial itu.

Selain mungkin berjasa atas toponimi Jatinangor, mungkin Baud juga punya makna tersendiri memberi nama putrinya, Mimosa. Flora pemalu itu tampaknya menjadi penanda betapa malunya Baud mengotori "surga" yang pernah mereka huni.

Namun, tentu saja semua itu hanya citra silam Jatinangor ketika belum dirasakan adanya kegersangan dan kerawanan akan banjir, sebagaimana pernah dimaklumi seorang menteri yang beberapa bulan lalu menghibahkan sejumlah perahu karet. Seandainya Baud, Kinloch, Kerkhoff, dan Koning melihat kondisi sekarang, entah sebutan macam apa yang akan mereka berikan.



FADLY RAHMAN Pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Unpad, Tinggal di Jatinangor

Sumber :
Harian Kompas Rabu, 23 Juni 2010, dalam :
http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/budaya-pariwisata/10115-mengenang-qsurganya-jawaq.html





Tidak ada komentar:

Posting Komentar