.

Sabtu, 17 Juli 2010

Jatinangor Merdeka

Jatinangor bukan saja sebagai Indonesia kecil. Kota kecamatan di Kabupaten Sumedang ini juga bisa menyumbang hal positif yang tidak kecil bagi Indonesia. Kota ini bukan kota biasa. Salah satu tanda ketakbiasaannya diperlihatkan pada plang di atas jalan di sana: Kawasan Pendidikan.

Dari arah timur, plang serupa akan ditemukan tak jauh dari SMP Cikeruh. Sebutan ini diberikan menyusul berdirinya STPDN (sekarang IPDN), Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin), Universitas Winaya Mukti (Unwim), dan Universitas Padjadjaran (Unpad).



Berdirinya empat kampus ini berarti datangnya mahasiswa dari pelbagai daerah dari Sabang sampai Merauke, dengan suku, agama, dan bahasa berbeda-beda. Mereka datang untuk kuliah. Setelah minimal empat tahun, sebagian besar mereka beranjak meninggalkan Jatinangor. Sebagian besar mereka lantas menempati posisi-posisi yang langka dan diperebutkan, dan menjadi pihak-pihak yang berperan dan berpengaruh di masyarakatnya.

Soal sumbangan positif yang tidak kecil, memang baru mungkin. Dan kemungkinannya baru akan mewujud jika Jatinangor dikelola sebagai kawasan pendidikan dalam pengertian pembudayaan.

Adakah Jatinangor dikelola sebagai kawasan pendidikan dalam pengertian demikian? Empat kampus-yang membuat Jatinangor disebut kawasan pendidikan-berada di Jalan Raya Jatinangor. Di jalan provinsi, lebih kurang 2,5 kilometer yang membentang dari Jembatan Cibeusi sampai Jembatan Cikeruh ini, kini berdiri pusat-pusat perbelanjaan, supermarket, atau restoran.

Juga di situ, dan tentu di sekitarnya, tempat kos terus bertambah dengan bentuk bangunan, fasilitas, dan harga berbeda-beda. Yang sama dari tempat-tempat kos itu adalah naiknya harga setiap tahunnya. Sepengetahuan saya, harga kos paling mahal sampai Rp 9 juta per kamar. Fasilitasnya yang khas, yaitu ada satpam, tempat parkir, tempat tidur, lemari, meja belajar, dan kamar mandi di dalam (kamar) dilengkapi shower dan bathtub dengan air panas.

Dari situ saja, kita tahu sudah, kuatnya modal di Jatinangor. Modal sudah tampak sebagai tuan. Akibatnya, ruang-ruang ekonomis seperti yang telah disebut sebagian itu tumbuh di mana mereka mau. Satu sama lain bersaing dengan tidak mengacuhkan akibat-akibat buruk, seperti Jalan Raya Jatinangor macet, polusi udara, polusi suara, serta bertambahnya polusi visual dan sampah anorganik. Berkongsi

Musim kemarau berarti sumur penduduk lokal banyak yang kering, preman dan pengemis semakin melimpah. Kuatnya modal ini juga membuat Jatinangor menjadi ruang yang tambah subur bagi tumbuhnya logika pasar, individualisme, konsumerisme, dan pemberhalaan terhadap uang. Otomatis individualitas dan sosialitas menjadi sebaliknya: sulit mengakar dan menjalar. Demikian pun solidaritas sosial, keberwargaan, dan komunitas. Ketiganya makin kehilangan habitat yang dibutuhkannya untuk tumbuh.

Modal beroperasi karena berkongsi dengan eksekutif dan legislatif. Berdirinya ruang-ruang ekonomis karena beroleh izin. Modal juga tidak akan datang dan berkembang di ruang yang tidak mengundang dan mendukungnya. Empat kampus itu sepatutnya mengaku selaku pengundang dan turut memacu laju akumulasi modal di Jatinangor.

Kita tahu dari tahun ke tahun mahasiswa yang masuk lebih banyak daripada yang lulus, dan mahasiswa yang masuk setiap tahun selalu lebih banyak dari tahun sebelumnya. Memang tahun ini IPDN tidak menerima mahasiswa (praja) baru. Namun, ini lebih karena larangan Presiden sebagai respons atas tragedi Cliff Muntu. Dan lagi, dengan membuka program-program baru serta jalur penerimaan di luar SPMB, Unpad menerima mahasiswa baru lebih banyak lagi dari selisih jumlah mahasiswa tahun kemarin dan tahun kemarin lusa.

Konon ini karena pemerintah mengurangi subsidi untuknya, dan untuk memberi kesempatan lebih luas kepada masyarakat mengenyam pendidikan tinggi. Namun, penambahan jumlah mahasiswa itu tidak disertai penambahan fasilitas-fasilitas penunjang perkuliahan, serta tidak disertai penambahan jumlah dosen. Memang ada rekrutmen dosen, tetapi tidak setiap tahun. Yang direkrut per fakultas paling banter dua orang. Maka, untuk apa sebenarnya penambahan jumlah mahasiswa itu? Menurut saya, uang. Ini pula agaknya yang membuat keempatnya tampak tak mengacuhkan Jatinangor, ruang yang mungkin mereka bayangkan tak menularkan pengaruh apa pun pada keberadaannya.

Jatinangor yang menyumbang hal positif tidak kecil bagi Indonesia memang baru mungkin. Malah, jika seperti yang saya lihat, kemungkinannya yang terjadi bisa sebaliknya. Kota ini malah bisa berperan besar dalam menambah parah penyakit laten yang menggerogoti Indonesia, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, feodalisme, totalitarianisme, dan perusakan alam. Ini tentu tak boleh (terus) mewujud.

Akan tetapi, bagaimana membendungnya? Jalan untuk itu adalah, menurut saya, Jatinangor merdeka. Merdeka dari pengelolaan yang jantungnya pemberhalaan terhadap uang yang akibat-akibat negatifnya sebagian kecil telah dikatakan di atas. Pemerdekaan ini bisa diwujudkan dengan beragam cara. Saya pribadi melihat salah satunya adalah memulai dengan mengembalikan pendidikan kepada khitahnya, yakni pembudayaan. Dengan demikian, kawasan pendidikan Jatinangor menjadi identik dengan kawasan pembudayaan Jatinangor. Ruang pemanusiaan

Konsekuensinya, Jatinangor dipermak dengan tujuan menjadikannya sebagai ruang pemanusiaan. Perancangan dan pelaksanaannya tidak cuma diserahkan kepada keempat pihak yang telah terbukti lebih banyak mengacak-acak kawasan pendidikan ini, tetapi juga kepada sekalian pemukimnya. Demikian pula kontrol terhadapnya. Untuk ini, diperlukan adanya forum-forum yang sanggup mengakomodasi dan mengartikulasikan sekalian pemangku kepentingan.

Di Jatinangor, bukan tak ada pemukim yang memiliki kesadaran budaya. Ada cukup banyak pemukim Jatinangor yang bahkan sudah sampai mengartikulasikan kesadaran budayanya. Namun, itu cenderung masih dilakukan sendiri-sendiri, dan tujuannya masih tampak kabur. Jika dilakukan bersama-sama, dan dengan tujuan yang lebih jelas serta luas, aksi-aksi itu sangat mungkin bernilai lebih besar lagi.

Dengan begitu, di kota kecil itu, pendidikan sebagai pembudayaan dengan sendirinya bisa berlangsung. Yang mengalaminya bukan saja mahasiswa IPDN, Ikopin, Unwim, dan Unpad, tetapi sekalian yang bermukim di Jatinangor. Ini tidak saja bisa membuat Jatinangor tumbuh menjadi lebih beradab. Kelebihannya bisa meluap dan berperan besar dalam menyapu rupa-rupa perkara yang mencengkeram Indonesia.


Jika memang demikian, kenapa kita, terutama yang bermukim di Jatinangor-pengharap demokrasi dan lingkungan beradab-tidak sama kompak berteriak, "Jatinangor merdeka!" HIKMAT GUMELAR Koordinator Institut Nalar Jatinangor

dipublikasikan di Kompas Jabar.

Sumber :
Hikmat Gumelar
http://institutnalar.multiply.com/journal/item/10




Tidak ada komentar:

Posting Komentar